Sunday, July 07, 2002

A love odyssey 4





4. Dinding-dinding itu

Dinding-dinding itu
Yang kasat mata,
namun keberadaannya nyata
Satu hari nanti mungkin kita akan
menabrakkan diri
Namun genggaman tanganmu
Masih membuatku enggan untuk berlalu

Feb ’97

Tapi langkah mencari emas di ujung pelangi tidaklah ringan. Di hadapan kami ternyata ada sebuah dinding yang tebal. Entah siapa yang mendirikannya, yang jelas kami tak pernah merasa mendirikannya. Dan kami pun tak tahu kenapa dinding itu harus ada, dan untuk apa ia ada.

Pada mulanya, kami tak terlalu hirau akan keberadaannya. “Nantilah suatu saat kita pikirkan bagaimana cara memanjatnya. Sekarang ini, nikmatilah hari-hari yang kita miliki.” Tapi waktu terus bergulir. Dinding itu semakin dekat, semakin jelas. Dan semakin terlihat bahwa ia begitu kokoh.

Kutanya pada orang-orang yang lalu lalang, untuk apa dinding itu ada? Kenapa ia harus ada?

Tradisi. Iman. Kepercayaan. Itulah jawaban yang selalu kudapat. Tapi apakah iman dan kepercayaan dibuat untuk memisahkan dua orang yang saling mencintai? Kalau begitu kenapa si pencipta menciptakan cinta dan dinding sekaligus? Apakah si pencipta memang suka bercanda? Ah, jawaban-jawaban itu tak pernah memuaskanku.

Tapi ada satu-dua yang berbisik padaku. Tidak, iman dan kepercayaan tidak dibuat untuk menghambat cintamu. Sayangnya suara mereka terlalu lemah, dan jumlah mereka terlalu sedikit. Meskipun bisikan itu tetap memberiku semangat dan keyakinan untuk terus melangkah.

Lalu beberapa mencoba memberikan jawaban yang (mereka anggap) lebih bijak. Katanya, dinding itu ada untuk melindungimu. Untuk menghindarkanmu dari masalah yang mungkin timbul kalau kau berjalan meniti pelangi. Kutanya, memang kenapa dengan berjalan meniti pelangi? Mereka jawab, karena pelangi punya terlalu banyak warna. Tak mudah berjalan di antara berbagai warna. Lebih baik kau berjalan dalam satu warna.

Aku tetap tak bisa menerima penjelasan mereka. Menurutku, setiap keputusan adalah risiko. Dan tidak mungkin kita mengeliminir risiko. Yang bisa kita lakukan adalah membangun keyakinan bahwa kita bisa mengatasinya. Sekarang berikanlah aku kesempatan untuk menunjukkan bahwa aku mampu. (Tidak, tetap tidak bisa, kata mereka).

Lama-kelamaan aku pun menyadari bahwa apapun pendapatku, mereka tak akan mendengarkan. Karena masalahnya, bukan masalah apa yang akan timbul kalau AKU melalui dinding itu. Tapi masalah apa yang akan MEREKA dapatkan kalau mereka membiarkanku melewati dinding itu. Ternyata diriku, pikiranku, bukanlah semata-mata milikku. (Karena kita orang Timur, dan bagi orang Timur keluarga adalah segalanya…) (Dan salah satu konsekuensinya kita bukanlah lagi seorang individu yang memiliki kehendak bebas).

Tapi buatku, diriku adalah milik diriku. Dan masa depanku bersamanya adalah milik kami. Kutanya padanya, apakah kau siap untuk menabrakkan diri ke dinding itu? Dan ia pun menyatakan kesiapannya. Kami pun lalu mengatur langkah untuk itu.

(Sebuah yayasan pimpinan seorang tokoh yang sering diasosiasikan sebagai ‘Islam liberal’ membantu kami menunjukkan jalan. Baju dan barang-barang sudah mulai dimasukkan kopor. Akankah aku menulis kisah ‘anak durhaka’ abad 21?).


#ari
7 Juli 2002- kami menikah

No comments: